Kamis, 07 November 2013

ESAI SASTRA "ROBOHNYA SURAU KAMI' Karya A.A. Navis

PENGABDIAN DAN KEBERMANFAATAN HIDUP
Telaah cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis
Oleh Ika Nur Hikmah

Siapa yang tidak ingin hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat? Semua orang pasti mendambakannya. Namun apa jadinya jika kita hanya bepihak pada salah satunya dan melupakan yang lain? Tuhan telah menjelaskan bahwa hidup yang diberikannya adalah untuk keserasian dan keseimbangan, bukan berat pada salah satu sisi dan sisi yang lain dilupakan. Inilah realitanya, banyak manusia yang lebih mementingkan salah satunya, bukan kedua-duanya. Ada yang lebih mementingkan kehidupan dunia. Tiada lelah ia mencari materi untuk memenuhi semua keinginannya dalam mencapai kepuasan. Namun ada pula yang lebh condong pada usaha-usaha menuju kebahagian di kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. Setiap waktu dalam langkahnya hanya untuk mengingat asma-Nya.
Jika kita telaah lebih jauh, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis ini syarat akan makna dan nilai moral di dalamnya. Kehidupan adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada seluruh makhluk-Nya. Bukan semata-mata memuja dan mengucap asma-Nya menjadi suatu yang mutlak sebagai kewajiban manusia di dunia. Hal itu dapat kita lihat dalam penggalan ceritanya yaitu, “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.”
Cerita ini mengajarkan tentang alam, dunia dan yang ilahi. Alam adalah suatu rangkaian yang diberikan kepada kita sebagai sesuatu yang semestinya dijaga dan dimanfaatkan untuk hal-hal positif. Hakikatnya Tuhan memberi alam untuk menunjang manusia dalam bertahan hidup. “Robohnya Surau Kami” menjelaskan alam sebagai suatu bentuk titipan Tuhan yang semestinya dimanfaatkan dan dijaga secara bijak untuk anak cucu kita dalam meneruskan hidup kelak.
“Salahkah menurut pendapatmu,  kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh pada malaikat.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu ‘kucar-kacir’ selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Berdasarkan penggalan cerita di atas, dunia itu diibaratkan keserasian hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dunia mencakup segala relasi yang mutlak ada di dalamnya. Dan yang terakhir yaitu ilahi. Allah berfirman bahwa Ia tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Nya. Namun disamping itu semua, pengarang menggambarkan bagaimana cara melihat unsur kealiman seseorang. Ironi sekali jika kita menengok kisah Haji soleh. Di dalam cerita pendek ini di titik beratkan dosa Haji Soleh yaitu mengabaikan tanggung jawab kepada sesamanya. Pada masa yang sama, kealiman seseorang juga bisa berunsur egoistis. Dalam arti lain, hanya untuk mendapatkan balasan atau pahala yang dijanjikan Tuhan dan keselamatan dirinya sendiri di akhirat kelak, tanpa memikirkan hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya.
Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, A.A Navis juga menggambarkan ketidak istiqamahan seorang kakek penjaga suarau. Selama ini beliau menghabiskan hari-harinya untuk mengabdi kepada Allah, beliau selalu menjaga dirinya dari amarah. Namun, setelah mendengar cerita dari seorang pembual bernama Ajo Sidi, perasaan kesal dan menyesal bercampur pada hati sang kakek pada saat itu. Kakek merasa bahwa cerita tersebut mungkin di ilhami oleh dirinya. Dan kakek memutuskan untuk membalas segala sesalnya dengan membunuh diri. Hal ini dapat kita lihat dalam penggalan ceritanya yaitu, “Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”

Kesimpulannya  adalah kehidupan itu keseimbangan, keseimbangan antara kebahagiaan dan penderitaan, antara dunia dan akhirat. Kenyataan yang terjadi, banyak di antara kita yang berat pada satu titik dan titik lain di lupakan. Robohnya surau kami mengajarkan sesuatu bentuk  kesadaran akan beragama dan berkehidupan. Pesan serupa juga terdapat pada salah satu novel bestseller yaitu “Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.” Cerita ini menguak segala macam bentuk kekurangan manusia dalam segi hal alam, dunia, dan yang ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar