PENGABDIAN DAN
KEBERMANFAATAN HIDUP
Telaah cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya A.A. Navis
Oleh Ika Nur Hikmah
Siapa yang tidak ingin hidup
bahagia, baik di dunia maupun di akhirat? Semua orang pasti mendambakannya.
Namun apa jadinya jika kita hanya bepihak pada salah satunya dan melupakan yang
lain? Tuhan telah menjelaskan bahwa hidup yang diberikannya adalah untuk
keserasian dan keseimbangan, bukan berat pada salah satu sisi dan sisi yang
lain dilupakan. Inilah realitanya, banyak manusia yang lebih mementingkan salah
satunya, bukan kedua-duanya. Ada yang lebih mementingkan kehidupan dunia. Tiada
lelah ia mencari materi untuk memenuhi semua keinginannya dalam mencapai
kepuasan. Namun ada pula yang lebh condong pada usaha-usaha menuju kebahagian
di kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. Setiap waktu dalam langkahnya
hanya untuk mengingat asma-Nya.
Jika kita telaah lebih jauh, cerpen
“Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis ini syarat akan makna dan nilai moral di
dalamnya. Kehidupan adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada seluruh makhluk-Nya.
Bukan semata-mata memuja dan mengucap asma-Nya menjadi suatu yang mutlak
sebagai kewajiban manusia di dunia. Hal itu dapat kita lihat dalam penggalan
ceritanya yaitu, “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk
anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling
menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau
lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau
miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu
semua mesti masuk neraka.”
Cerita ini mengajarkan tentang alam,
dunia dan yang ilahi. Alam adalah suatu rangkaian yang diberikan kepada kita sebagai
sesuatu yang semestinya dijaga dan dimanfaatkan untuk hal-hal positif.
Hakikatnya Tuhan memberi alam untuk menunjang manusia dalam bertahan hidup. “Robohnya
Surau Kami” menjelaskan alam sebagai suatu bentuk titipan Tuhan yang semestinya
dimanfaatkan dan dijaga secara bijak untuk anak cucu kita dalam meneruskan
hidup kelak.
“Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami menyembah
Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh pada malaikat.
“Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu ‘kucar-kacir’ selamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum,
bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Berdasarkan penggalan cerita di atas, dunia itu diibaratkan
keserasian hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, manusia
dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dunia mencakup segala relasi yang mutlak
ada di dalamnya. Dan yang terakhir yaitu ilahi. Allah berfirman bahwa Ia tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Nya. Namun
disamping itu semua, pengarang menggambarkan bagaimana cara melihat unsur kealiman
seseorang. Ironi sekali jika kita menengok kisah Haji soleh. Di dalam cerita
pendek ini di titik beratkan dosa Haji Soleh yaitu mengabaikan tanggung jawab
kepada sesamanya. Pada masa yang sama, kealiman seseorang juga bisa berunsur
egoistis. Dalam arti lain, hanya untuk mendapatkan balasan atau pahala yang
dijanjikan Tuhan dan keselamatan dirinya sendiri di akhirat kelak, tanpa
memikirkan hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya.
Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, A.A Navis juga menggambarkan
ketidak istiqamahan seorang kakek penjaga suarau. Selama ini beliau menghabiskan
hari-harinya untuk mengabdi kepada Allah, beliau selalu menjaga dirinya dari
amarah. Namun, setelah mendengar cerita dari seorang pembual bernama Ajo Sidi,
perasaan kesal dan menyesal bercampur pada hati sang kakek pada saat itu. Kakek
merasa bahwa cerita tersebut mungkin di ilhami oleh dirinya. Dan kakek
memutuskan untuk membalas segala sesalnya dengan membunuh diri. Hal ini dapat
kita lihat dalam penggalan ceritanya yaitu, “Dan besoknya, ketika aku mau turun
rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
Kesimpulannya adalah kehidupan
itu keseimbangan, keseimbangan antara kebahagiaan dan penderitaan, antara dunia
dan akhirat. Kenyataan yang terjadi, banyak di antara kita yang berat pada satu
titik dan titik lain di lupakan. Robohnya surau kami mengajarkan sesuatu
bentuk kesadaran akan beragama dan berkehidupan. Pesan serupa juga
terdapat pada salah satu novel bestseller yaitu “Muara manusia adalah
menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita
mengabdi. Sebagai khalifah tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan
kebermanfaatan.” Cerita ini menguak segala macam bentuk kekurangan manusia
dalam segi hal alam, dunia, dan yang ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar