Kamis, 07 November 2013

CERPEN PERSAHABATAN

MATAHARI JINGGA
Karya Amira

Hari itu hujan, hujan yang sangat lebat. Aku bersiap pergi ke sekolah. Matahari tertutup awan hitam sehingga pagi itu terlihat seperti malam. Aku akan berangkat ke sekolah bersama Lisa. Ia sudah membuat rencana tadi malam.
Setelah lebih dari 20 menit menunggunya di halte, dia tidak juga terlihat. Aku memutuskan untuk pergi atau gerbang sekolah tidak akan terbuka lagi untukku. Dalam hati aku bersungut “Apa yang terjadi padanya? Jika aku bertemu dengannya di sekolah nanti, aku bersumpah akan memukul pundaknya dengan buku.”
Ketika aku akan naik ke dalam angkutan umum, aku melihat seorang gadis yang kira-kira usianya 1 tahun lebih tua dariku duduk di halte. Ia mengepal erat kedua tangannya. Ia kedinginan. Aku tak dapat menangkap seperti apa rupanya karena di sana benar-benar gelap, apalagi aku sudah masuk ke dalam angkutan tersebut. Ahh .. sudahlah. Ia bukan siapa-siapa.
Bel telah berbunyi 10 menit yang lalu, tapi gerbang belum ditutup. Mungkin sekolah memberikan dispernsasi di hari hujan seperti ini. Aku sampai di kelas dan kulihat Lisa tengah duduk sambil menikmati novelnya. Ia tak menyadari kedatanganku. Buru-buru aku keluarkan buku geografi yang tebalnya seperti kasur kamarku agar aku bisa memukulnya.
“Aduuuhhh… apaan sih?” Lisa merintih. Ia tidak tau kalau aku yang memukul pundaknya.
“Apa maksudnya membiarkan aku sendiri di halte. Menunggu seperti orang idiot?” aku berkecak pinggang.
“Maafin aku, Nad. Tadi aku diantar ayah karena hujan. Aku juga lupa kalo aku punya janji pergi bersamamu. Maafin aku ya.” Ia memasang wajah sedih dan aku pun memaafkannya.
Pelajaran perama berakhir. Dan hujan pun turun semakin lebat. Aku tak tahan dengan situasi seperti ini. Aku mengantuk dan aku rasa semua yang ada dikelas ini pun begitu. Bel istirahat berbunyi. Aku dan Lisa enggan beranjak dari meja. Lisa bahkan tidak mau mengangkat wajahnya dari jaket yang ia gunakan sebagai bantal.
“Mana jaket mu Nadine? Aku pinjam.” Perkataan Lisa tadi membuatku tersadar bahwa sedari tadi jaket yang aku bawa sekarang hilang. Ya ampun kenapa aku begitu bodoh. Melupakan benda yang sangat penting di hari hujan seperti ini.
“Aku lupa di mana meletakkannya. Tadi sepertinya waktu aku menunggumu di halte, jaketnya masih aku pegang.”
“Mungkin tertinggal di angkutan umum. Atau tertinggal di halte.” Benar juga apa katanya.
“Ya sudahlah. Mungkin benda itu sudah menjadi milik orang lain.
Bel pulang berbunyi. Aku dan Lisa pulang bersamaan.
Keesokan harinya, hujan masih turun karena ini memang musim hujan. Kali ini aku memang pergi sendiri ke sekolah karena Lisa masih juga diantar ayahnya. Aku duduk di halte menunggu tumpanganku. Ketika aku melihat ke arah jalan, muncul seorang gadis yang basah kuyup. Tangannya memegang sesuatu yang aku kenal. Itu jaketku. Aku melihat ke arahnya. Gadis itu, gadis yang kemarin aku lihat di halte ini. Kali ini wajahnya jelas terlihat di hadapanku. Ia mengulurkan jaket yang di pegangnya.
“Ini punyamu?” suaranya serak. Hampir tidak terdengar. Tidak ada ekspresi apapun yang keluar dari wajahnya. Aku masih belum bisa mengatakan apapun. Tangan, badan serta kakiku dingin.
“Jawab aku. Ini punyamu atau bukan?” kali ini ia membentak. Suaranya melengking ke telinga. Aku takut. Sangat takut. Akhirnya aku menganggukkan kepala. Ia melemparkan jaketku ke tanah. Lalu ia duduk di sampingku. Aku bertanya-tanya mau apa anak ini. Sialnya aku tak menemukan satu orangpun di sini selain dia. Dan yang lebih sialnya lagi, ia memandangiku terus. Entah apa yang ia mau dariku. Aku memberanikan diri untuk berbicara.
“Terima kasih.” ucapku dengan senyum. Ia tidak membalas. 1 menit kemudian ia berbicara.
“Di mana kau bersekolah?”
“Aku bersekolah di SMA R.A Kartini.” Ia diam lagi. Aku melihat tangannya menggenggam satu sama lain, lalu sesekali menggosokkan telapak tangannya.
“Kau kedinginan. Aku bawa jaket 1 lagi. Kau mau?” Ia diam lagi, lagi dan lagi. Ia menatapku lagi sambil mengangguk. Aku memberikan jaket yang ada di tasku padanya. Akhirnya angkutanku telah datang, tapi rasanya tak ingin ku tinggalkan tempat itu. Melihatnya kedinginan di halte, sungguh aku malas berangkat sekolah.
“Hey… siapa namamu?” seruku.
“Aku Myra” lalu ia pergi dalam hujan. Ia masih memakai jaketku.
Kali ini aku datang lebih awal dari Lisa. Teringat saat pertama aku jumpa anak di halte tadi. Ohh... namanya Myra. Nama yang indah didengar. Kelihatannya ia anak baik. Tapi kenapa ia tidak bersekolah? Atau mungkin ia telah selesai? Entahlah. Semoga besok aku berjumpa dengannya lagi.
Bel berbunyi dan tepat pada saat itu Lisa datang. Ia terlihat sangat manis dengan jaket coklatnya. Anak itu memang manis menggunakan pakaian apapun. Bahkan baju tidur sekalipun.
“Hey, Nad. Karena hujan, mobil ayah macet. Semua orang ingin cepat. Tergesa-gesa seperti segala sesuatu harus diselesaikan hari ini juga. Kasihan ayah yang harus terlambat ke lapangan karena aku.” Wajahnya tak bisa ku gambarkan. Antara sedih, capek, marah dan lucu.
“Duduklah Melisa. Kau terlihat cantik hari ini. Jangan buat penampilanmu jadi bodoh. Guru kita sepertinya tidak hadir. Mau ke kantin?” aku berusaha menenangkannya. Ia tersenyum dan mengangguk.
Aku berharap matahari segera pulang dan berganti bulan. Lalu bulan pun pulang dan berganti matahari lagi. Agar aku bisa berjumpa Myra. Kalau ia ada disana.
~~~
Pelajaran matematika adalah salah satu pelajaran yang paling ampuh untuk membuatku segera tidur, karena tidak ada pelajaran lain yang bisa membuat mataku sayu atau tertutup sama sekali kecuali dia. Jam bergerak ke angka 11 dan aku sudah mulai mengantuk. Ku tutup buku matematika-ku lalu mengambil I-Phone. Aku memutar lagu Christina Perri-A Thousand Years yang ku senangi. Aku pun tertidur.
Alarm itu membangunkanku. Ku singkap tirai jendela, hari masih hujan tetapi hanya sedikit. Tidak separah semalam. Dengan semangat aku bangun, mengambil handuk, menuju kamar mandi, berpakaian, berdandan dan semua itu ku lakukan dalam waktu 20 menit. Sengaja aku mau pergi cepat hari ini agar bisa ngobrol dengan Myra lebih lama. Entah apa yang membuatku tertarik padanya. Mungkin karena sifatnya yang misterius. Jadi mulai hari ini aku putuskan untuk bersifat misterius agar orang tertarik padaku.
“Ma, Nadine berangkat. Nanti pulangnya agak lama ya ma, karena ada ekskul badminton. Assalamualaikum” seruku tanpa mendengar jawaban dari mama. Aku berlari untuk sampai ke halte yang biasa aku singgahi. Sesampainya di sana aku tak menyangka ia duduk di situ dengan jaket yang kuberikan kemarin.
Ia menjulurkan tangannya dan memberikanku jaket itu. Aku tersenyum lalu berseru “Tak apa. Simpan saja jaket itu. Aku punya 2 kok. Anggap saja ini ucapan terima kasihku.”
“Baiklah kalau begitu. Aku juga tidak tau apa fungsi dari benda ini.” Jawabnya.
Aku tercengang sekali. “Apa? Ini namanya jaket. Kata itu berasal dari bahasa inggris yang artinya ‘sebuah benda yang terbuat dari kain atau kulit bulu yang digunakan untuk melindungi diri dari hujan dan panas’. Kau mengerti?”
“Apa buruknya hujan. Aku tiap hari bermain hujan. Pergi sesukaku tanpa benda yang kau beri tadi. Dan sampai sekarang aku tidak kenapa-kenapa. Bahkan aku pun tak pernah mendengar berita di koran atau radio kalau ada anak seusiaku mati dikarenakan hujan” jawabnya ketus. Tapi pemikiran nya masuk akal juga buatku.
“Ya sudahlah terserah padamu saja. Tapi aku yakin suatu hari nanti kau membutuhkan benda itu.”
“Siapa namamu?” tanyanya.
“Aku? Aku Nadine. Kau?” Betapa bodohnya pertanyaanku tadi.
“Sepertinya aku telah memberitahukan namaku padamu kemarin. Aku Myra. Panggil saja Mey.” Nama asli dan nama panggilannya kurang pas. Myra dan Mey.
Aku terdiam. “Namaku April.” Dan lagi aku mengulang pernyataan yang tadi telah ku buat. Kenapa aku? Kenapa tiba-tiba aku jadi bodoh? Ia melihat kearahku dan mengangkat kedua alisnya. Pertanda ia bingung.
“Kenapa tiba-tiba kau mengganti namamu? Bukankah tadi Nadine?”
“Oohh... iya ya. Nama asliku adalah Nadine Aprilia Kirana. Tadi kau telah menyebutkan namamu Mey. Jadi biar kau selalu ingat namaku, pangil saja aku April. Kan nama kita berdekatan. Mey dan April. Begitu.” Jelasku. Kelihatannya ia sudah mengerti.
“Seperti nama bulan.”
“Di mana rumahmu?” sekarang giliranku bertanya.
“Kau mau tau di mana rumahku? Ikut aku sepulang kau sekolah. Aku akan ada di sini sekitar pukul 5. Kau mau?”
“Tentu. Sekarang aku pergi dulu. Angkutanku telah datang. Sampai bertemu pukul 5.” Seruku bersemangat. Aku tersenyum senang. Tidak kusangka ia bisa juga ramah padaku.
Bel pulang sekolah berbunyi pukul 2.30 dan aku masih ada ekskul badminton lagi. Ku selesaikan semua jadwalku dengan cepat. Berharap pukul 5 segera datang.
Pukul 5 tepat ekskul pun berakhir. Tetapi tiba-tiba kakak pembina memberikan instruksi pada kami untuk membersihkan lapangan. Ya ampun aku tak mungkin bisa pulang. Aku meminta izin pada kakak pembina untuk memulangkanku lebih awal dengan alasan membantu mama membuat pesta Amir Agha, adikku. Tapi permohonanku ditolak.
Setelah semuanya bersih aku pun segera pulang. Kulirik jam tanganku. Pukul 05.45. Aku terlambat 45 menit dari janji. Akhirnya aku sampai ke halte. Tidak ada seorangpun di sana. Tiba-tiba aku melihat Mey berlari menghampiriku.
“Sudah 30 menit aku menunggumu di sini tadi.”
“Maaf Mey. Tadi aku ada ekskul diseko……”
“Sudah... cepat kita pergi. Jangan banyak bicara. Nanti kita ketinggalan sesuatu.” Jawabnya sambil menarik erat tanganku. Sangat sakit rasanya digenggam oleh dia.
Kami berlari hampir 15 menit. Sebuah rekor baru untukku. Mey mengajakku ke sebuah tempat di dekat gunung yang aku tak tau apa namanya. Lalu kami mendaki lagi beberapa meter hingga akhirnya kami sampai ke dekat laut. Tepat di bawah kami laut itu berada. Aku merasa ngeri melihatnya. Apa yang akan dilakukan Mey di sini? Aku mulai takut sekarang. Aku memandangi wajahnya heran. Ia masih belum juga melepaskan genggamannya dari tanganku. Sementara tanganku rasanya perih sekali.
“Tenang saja, Pril. Aku tak akan menjatuhkanmu ke laut itu. Ayo kita duduk. Percaya padaku, kau tak akan jatuh.” Katanya dan aku menuruti.
“Tunggulah sekitar 5 menit lagi. Dan kau akan melihatnya.” Sambungnya. Aku tak mengerti apa maksud perkataannya dari tadi. Di mana rumahnya? Aku bahkan tak melihat sebuah rumah pun di sini.
Setelah 5 menit menunggu akhirnya pemandangan indah pun nampak. Matahari yang akan pulang ke barat. Langit gelap dan burung-burung pun pulang. Tebak apa warna mataharinya. Warnanya jingga. Jadi ini yang sedang kami tunggu-tunggu dari tadi. Ternyata benar. Sungguh itu sangat indah. Aku memandang wajah Mey. Dan untuk pertama kali nya aku melihat ia tersenyum.
“Aku selalu ke sini bersama ayah dulu. Setiap hari hampir gelap, kami mendaki gunung ini. Dan pulang hingga malam hari.” Katanya senang.
Ia lalu menceritakan semua tentang kejadian keluarganya. Ayahnya meninggal setelah ia berumur 8 tahun. Aku bertanya karena apa ayahnya meninggal tetapi ia sendiri pun tidak tau. Sampai saat ini ia tidak pernah menemukan kuburan ayahnya. Lalu setelah ayahnya meninggal, ibu Mey tak sanggup hidup sendiri. Ia bahkan tak mau mengurusi Mey. Suatu malam ibunya pergi dengan sebuah mobil pick-up punya tetangganya, meninggalkan Mey yang masih kecil. Esokya ia bertanya pada tetangganya kemana ibunya pergi. Mereka bilang “Ibumu pergi kesuatu tempat, Mey. Jauh di negeri sana. Kalau ia telah tua nanti baru ia akan pulang.” Lalu mereka tertawa. Kemana ibunya? Ia pun tak tau hingga sekarang. Ia pun meninggalkan rumahnya dan tinggal entah di mana.
“Aku biasa hidup di mana pun aku mau. Aku akan bekerja pekerjaan apapun. Terkadang kita tak harus punya rumah untuk bisa bertahan hidup.” Katanya. Jadi inti dari ceritanya adalah ia anak yatim yang ditelantarkan oleh ibunya dan hidup entah di mana.
Sepertinya sudah cukup petualanganku hari ini. Aku pun ingin pulang dan kami pulang bersama-sama.
Hari demi hari kami lalui bersama. Aku pun merasa senang mengenal Mey. Ia baik dan jujur. Hanya saja ia tinggal dijalanan dan tidak pernah sekolah. Kalau mama tau ia pasti akan marah.
Suatu hari aku pernah bertanya pada Mey “Kenapa kau tidak sekolah Mey?”
“Siapa yang tidak ingin sekolah? Semua orang mau. Hanya saja kesempatan ku belum datang.”
“Kalau kau tak bersekolah apa cita-citamu?” Tanyaku lagi.
“Aku punya cita-cita untuk membangun sebuah sekolah.” aku terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa seorang yang tidak pernah sekolah bisa membangun sebuah sekolah. Aku hampir tertawa oleh kebodohannya.
“Kenapa kau tertawa? Aku tau apa yang tengah kau pikirkan. Aku memang tidak pernah sekolah, tetapi lingkunganlah yang telah mengajarkan ku. Bukankah Gustave Eiffel, perancang menara Eiffel tidak suka belajar secara spesifik dan formal? Dan kau tau cerita tentang Thomas Alfa Edison? Ia pernah tinggal kelas 3 kali dan dikeluarkan dari sekolah karena ia sangat bodoh. Tapi siapa yang tau 12 tahun kemudian ia telah menerangi dunia dengan penemuan lampunya?” jawabnya ringan dan kali ini aku benar-benar terkejut mendenar jawabannya. Bagaimana bisa seorang anak yang ijazah SD sajapun ia tidak punya tetapi tau tentang Gustave Eiffel dan Thomas Alfa Edison. Jujur saja, aku sendiri pun tidak tau mengenai itu.
“Benar juga apa katamu Mey. Maaf aku telah menghinamu. Aku menyesal.” Kataku sambil menundukkan kepala sedalam-dalamnya.
“Tak apa. Aku tau kau akan berpikir seperti itu. Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir. Setelah itu aku akan pergi.” Ucapnya.
“Apa? Kau mau pergi ke mana?”
“Aku akan pergi mencari ibuku.”
“Ibumu? Kau sendiri tak tau ia di mana. Jangan konyol Mey” sergahku.
“Aku tau. Tapi aku akan tetap mencarinya. Aku tidak punya keluarga lagi di sini.”
“Kau bisa anggap aku sebagai saudaramu Mey. Kau boleh tinggal di rumahku kapan pun kau suka. Tolonglah. Jangan pergi. Pikirmu enak hidup di negara orang. Sulit Mey... sangat sulit. Apalagi gadis seperti kau.” Aku hampir menangis mengatakan kalimat itu.
“Hah. Sudahlah Aprilia. Aku baik-baik saja di sana. Keputusanku sudah bulat. Aku akan mencari ibuku.”
Kami berdua terdiam. Lalu 2 menit keudian ia berbicara lagi
“Tenang, April. Kaulah teman yang baru ku dapatkan selama 12 tahun ini. Hanya kau yang mau bermain denganku. Hanya kau yang aku ajak ke tempat ini. Aku berjanji suatu hari nanti kita akan bertemu. Di tempat ini juga. Melihat matahari jingga dan burung-burung pulang. Lima tahun lagi. Ya, aku berjanji padamu. Lima tahu lagi aku akan berada di sini, menunggumu datang. Tepat pada hari ini. Jam ini dan menit ini. Percayalah.”
Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Di halte pada pagi hari. Dan di gunung itu pada sore hari. Ternyata benar, ia telah pergi entah ke mana. Aku tak tau hal apa yang harus menghentikan setiap langkahnya. Ia aneh dan misterius. Terkadang ia mengajarkan beberapa hal baru padaku. Setiap hari aku menunggunya. Berharap ia pulang. Tetapi tetap saja ia belum ku lihat.

Aku teringat perkataannya ‘Lima tahun lagi kita akan berjumpa di sini. Pada hari yang ini, pada jam ini dan menit ini. Percayalah.’ Benar Mey. Aku akan menunggumu. Aku ingin melihat seperti apa rupamu 5 tahun lagi. Apakah kau telah membangun sekolahmu. Apakah kau masih tetap misterius seperti saat ini. Aku bersabar. Baik aku akan menunggumu 5 tahun lagi di tempat ini. Benar Mey, 5 tahun lagi.

1 komentar:

  1. Titanium Ring | TITanium Arts
    The Tite Gold rings are a premium silver alloy, produced by titanium quartz Titanium. titanium frames Made titanium vs ceramic flat iron in Teton, Ontario, head titanium ti s6 Canada titanium body jewelry and available for sale on www.Titaniumarts.com.

    BalasHapus