Manusia memang tak ada yang
sempurna. Tak ada yang luput dari dosa dan kesalahan. Mungkin yang kita tahu
bahwa seseorang berusaha untuk tidak mencetak ulang kesalahannya kembali.
Berusaha menjadi lebih baik. Namun, hal itu tak berlaku pada segelintir orang
berikut ini. Tak sekali dua kali mereka berdusta. Tak jarang juga mengingkari
janji dan perkataan yang telah ia ucap. Awalnya bilang ‘iya’ tapi akhirnya
malah berbalik. Ya ... inilah realitanya. Inilah faktanya. Tapi, ini bukan
cerita tentang mereka yang bangga akan kesalahannya. Ini cerita tentang 5 remaja
SMA yang mengarungi kota metropolitan di Jawa Timur untuk mengunjungi perguruan
tinggi negeri yang berdiri megah di sana.
Sabtu, 4 Januari 2013, tak
lain dan tak bukan adalah hari terakhir liburan. Berbekal tekad dan keberanian,
aku dan keempat temanku, Johanna, Nita, Tia, dan Alfin, berangkat menuju sebuah
kota metropolitan di Jawa Timur. Yups .. kota itu adalah Surabaya. Hanya dengan
sebuah pesan yang menunjukkan jalan menuju ke Institut Teknologi Sepuluh
November, sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Timur, bahkan
Indonesia, kami melangkahkan kaki. Pada mulanya, ada tujuh orang yang berniat
untuk melakukan perjalanan ini. Aku, Johanna, Ririn, Falah, Alfin, Huda, dan
Johan. Tapi, semuanya berubah begitu saja.
...
Jum’at malam, aku dan Johanna
menghubungi teman-teman sekelasku untuk hang-out bersama untuk
mengunjungi perguruan tinggi di Surabaya. Mungkin tak sedikit yang tak bisa
ikut serta dalam rencana itu. Tak apalah, mungkin memang terlalu mepet aku dan
Johanna memberi kabar ini. Malam itu ada tujuh anak yang menyatakan
kesanggupannya. Aku, Johanna, Ririn, Falah, Alfin, Huda, dan Johan. Kucoba tuk
bertanya pada Huda. “Huda, besok aku boleh bonceng kamu ga?”
“Aku sama Falah, Ka.”
jawabnya.
Sempat aku ragu. Gamang.
Antara ikut atau tidak.
...
Pagi itu, aku pun masih belum
yakin untuk ikut. Keyakinan untuk ikut belum genap seutuhnya. Sempat aku
berunding sama Ririn. Dia yang awalnya akan bonceng Alfin, rela memutuskan naik
angkot sama aku. “Ke alun-alun Sidoarjonya naik angkot sama aku aja. Nanti waktu
ke Surabaya kamu bonceng Johan saja. Insya Allah dia sendirian.” katanya.
Secercah harapan pun hadir. Di satu sisi, rasa lega itu muncul, tapi terbersit
kekhawatiran di kala ku coba bertanya pada Johan. “Jo, nanti aku boleh bonceng
ga?”
“Aku jemput ke rumahmu?”
tanyanya.
“Ndaklah. Tungguen di
perempatan lampu merah depannya Mall yang mau ke arah alun-alun saja.”
“Kamu sama Huda aja. Aku
nanti sama Falah.”
Kecewa. Seolah dipermainkan.
Kata Huda, Falah sama dia. Kata Johan, Falah sama dirinya. Saat itu juga, aku
bertanya pada Huda perihal itu. Tapi ternyata dia tidak jadi ikut. Entah kenapa
dia berubah pikiran. Aku pun tak tahu. Aku minta kepastian pada Johan. Tapi tak
ada satupun jawaban darinya. Meninggalkan seribu tanda tanya. Oleh sebab itu,
aku memutuskan untuk tidak ikut. Alasannya sederhana, karena tak ada
membonceng. Maklum, belum berani bersepeda sendiri ke Surabaya. Kukabari Ririn
dan Johanna. Ini keputusanku. Ini pilihanku. ‘Tak apalah. Toh, aku kan sudah
pernah mengunjungi perguruan tinggi negeri di Surabaya,’ batinku. Tapi sebuah
keajaiban datang menghampiriku. Sekitar pukul 08.20, ponselku berbunyi. Sebuah
panggilan masuk dari Nita.
“Kamu di mana?” tanyanya.
“Aku di rumah. Ada apa?”
“Kamu ga ke Surabaya?”
“Engga. Karena ga ada yang
bonceng.”
“Sama Johanna. Dia
sendirian.”
“Loh, dia tadi loh ga bilang
apa-apa. Bukannya dia sama Ririn ya?”
“Ririn ga jadi ikut. Dia lupa
kalau hari ini ada janji sama temannya. Gimana? Jadi ikut ga?”
“Ke Sidoarjo sekarang?”
“Iya.”
“Yaudah aku ikut. Tunggu ya.”
“Oke.”
Seketika aku meluncur pulang
dari rumah nenekku untuk berbenah. Waktu itu omku akan berangkat kerja ke Plaza
Telkom. ‘Kalau aku naik angkot pasti lama. Belum lagi kalo macet. Kasihan
teman-teman harus nunggu lebih lama lagi. Kalau berangkat sama om pasti lebih
cepat. Yaudahlah, berangkat sama om saja.’ pikirku. Tiga puluh menit kemudian
aku sudah bersama mereka, Johanna, Nita, Tia dan Alfin. Menggenapkan tekad
untuk bertualang bersama mereka.
...
Semula kukira perjalanan ini
menuju Universitas Negeri Surabaya di Ketintang, Surabaya, dahulu. Ternyata ke
ITS dulu. Walaupun aku yang pernah ke ITS sebelumnya, tapi aku lupa jalan
menuju kampus ITS. Sifat pelupa itu muncul menghancurkan memori yang ada. Aku
yang saat itu dibonceng Nita mengikuti saja ke mana Johanna dan Tia melaju.
Maklum derita orang tak tahu jalan ya jadi pengikut. Johanna mengajak lewat
jalan dalam. Kami melewati jalan menuju bandara Juanda. Tanpa kekhawatiran
sedikit pun kami melaju mengarungi jalanan yang terasa terik mengikuti petunjuk
arah yang kami punya. Sampai akhirnya kami masuk ke sebuah desa yang kami pun
tak mengenalnya. Bingung. Resah. Kami tersesat. Tak mau tersesat lebih jauh
lagi, kami pun akhirnya kembali ke jalan raya semula. Berusaha menemukan jalan
menuju Royal Plaza. Karena dari situ mungkin akan jauh lebih mudah bagi kami
untuk menuju kampus ITS.
Aku mencoba untuk meminta
tolong Mbak Fitri, kakak kelasku di SMAN 1 Wonoayu, untuk menjelaskan mana arah
yang harus kami tempuh untuk sampai di kampus ITS.
“Assalamualaikum. Mbak,
tolong jelaskan arah menuju kampus ITS kalau ditempuh dari Royal Plaza?”
“Lewat ke arah DTC, Dek. DTC
lurus, perempatan lampu merah kedua belok kanan. Lurus terus. Belok kiri,
lurus. Ada pertigaan belok kanan, nanti ada kampus STESIA di kanan jalan. Lurus
terus nanti ada jalan besar belok kiri. Lurus saja sampai perempatan, di situ
ada penunjuk jalan ITS, UNAIR, dan lain-lain, belok kanan. Terus lurus saja,
nanti ada bunderan ITS. Itu sudah sampai ITS.” Jawab Mbak Fitri.
Waktu itu juga, aku dan Nita
kehilangan jejak teman-teman kami. Kami kebablasan hingga sampai di
daerah Waru. Merasa kehilangan, Tia mengabariku kalau mereka menunggu kami di
tepi jalan di dekat Royal Plaza. Aku dan Nita memutar arah menuju Royal Plaza. Alhamdulillah,
kami pun menemukan mereka.
Petualangan pun terus
berlanjut tak sampai di situ saja. Ternyata tidak mudah mengikuti petunjuk dari
Mbak Fitri. Tek terlebih karena belokan di Surabaya itu tak sedikit. Aku dan
Nita hanya mengikuti Johanna dan Tia yang memimpin petualangan ini. Kami
tertinggal jauh. Alhasil, kami kehilangan jejak teman-teman kami untuk kedua
kalinya.
“Johanna, Tia, dan Alfin di
mana? Kok mereka ga kelihatan?” tanya Nita.
“Loh, iya kah? Cepat banget
mereka! Nit, kalau kita jalan terus mengikuti jalan ini, kita bakal kembali
pulang ke Sidoarjo. Putar balik saja.”
“Yaudah kalau begitu. Oh ya,
pesan dari Mbak Fitri tadi masih ada kan?”
“Ada.”
“Ehm .. bilang saja ke Tia
kita ketemu di ITS saja.”
Aku dan Nita memutar arah
untuk kedua kalinya. Kali ini hanya kami berdua. Ya, hanya berdua. Bermodalkan
tekad dan keyakian yang masih membara, kami bertekad untuk menyelesaikan
petualangan ini walaupun tak tahu arah dan berkali-kali tersesat. Kami yakin
apapun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak akan menjadi sesuatu yang
buruk. Tapi tergantung bagaimana kita bersikap, tergantung bagaimana kita
menyikapinya. Berserah pada keadaan atau terus berusaha meweujudkan apa yang
menjadi tujuan kita. Kita jangan mau sampai diatur oleh keadaan, kalau bisa
kita yang mengatur.
Dengan mengikuti petunjuk dari
Mbak Fitri dan papan penunjuk arah, aku dan Nita melanjutkan perjalanan menuju
kampus ITS walaupun sesekali bertanya pada seseorang di tepi jalan ketika kami
bingung dan takut salah arah. Dengan mengucap Basmalah, kami mengarungi jalanan
Surabaya dengan bermandikan terik panas matahari.
“Nita .. Nita, lihat itu.”
ucapku
“Apa?”
“Itu ... Kita sudah sampai di
ITS. Lihat itu.”
“Oh iya. Hampir saja kebablasan.”
“Yaudah masuk yuks.”
Kami pun masuk. Pelan-pelan
sepeda yang kami naiki melaju. Bukan karena kehabisan bahan bakar, tapi merasa
malu dengan mahasiswa yang berseliweran di area itu.
“Nit, kita orang asing di
sini.” kataku
“Iya. Malu. Mau ditaruh di
mana ini muka.”
Kami sempat berhenti di depan
masjid ITS. Bingung mencari tempat parkir masjidnya di mana. Ada yang berubah
dari kampus ini. Di depan masjid ITS, kini tiada lagi pedagang bakso yang di
tahun sebelumnya masih ada. Padahal dari tadi kami telah mengincarnya.
Maklumlah, cacing-cacing di perut ini telah menabuh gong meminta suapan
makanan.
Di kala itu, ternyata
Johanna, Tia, dan Alfin telah memarkir sepeda mereka. Tak menunggu lami aku dan
Nita memarkir kendaraan roda dua yang sedari tadi senantiasa menemani kami
mengarungi jalan.
Air wudlu ini serasa
meluruhkan seluruh peluh yang ada. Segar. Segera kami menunaikan shalat Dhuhur.
Seusai shalat, kami pun kembali. Tak lupa kami pun mengabadikan momen
kebersamaan ini dalam frame.
Cacing-cacing di perut kami
tak bisa dikompromi. Ingin membeli makan, tapi kantin ITS hari ini tutup. Kata
temannya Johanna, kantin di PENS masih buka. Jadi kami memutuskan untuk mencari
di mana kampus PENS berada. Mutar-muter. Tapi hasilnya nihil, tak
menemukannya. Langit mendung kala itu. Tapi matahari masih leluasa memancarkan
sinarnya. Kami pun bertanya kepada pak satpam yang berjaga di rumah dinas ITS.
Perjalanan pun berlanjut.
Kami keluar dari ITS menuju
PENS. Ketemu. Kami berhasil menemukannya. Tapi, sayang seribu sayang, kantinnya
sudah tutup. Alhasil, kami kecewa. Tapi Allah masih sayang sama kami. Security PENS
meberitahu kami sebuah tempat makan di desa Mulyorejo, depan kampus PENS. Ketika
hendak memesan makanan, tanpa sengaja, Johanna bertemu dengan orang yang pernah
mendapat tempat spesial di hatinya. Terkejut. Gemetar tubuhnya. Belum makan pun
terasa kenyang. Aneh. Cinta memang aneh. Ya sudahlah! Soto ayam menjadi menu
makan siang kami kali ini, ditemani dengan segelas es teh manis. Dalam hitungan
menit, semua makanan itu tandas tak bersisa. Habis.
Gerimis menguyur Surabaya
ketika kami pulang. Tapi tak berlangsung lama. Ketika kami melaju di daerah
Rungkut, sepeda yang aku dan Nita tumpangi sempat oleng saat berusaha
menghindari sebuah lubang. Kaget. Tapi Alhamdulillah, kami tak terjatuh.
Perjalanan ini terus berlanjut. Tak selang kemudian, macet pun tak terelakkan.
Terbebas dari genggaman kemacetan, kami melanjutkan perjalanan pulang. Dari
kejauhan terlihat langit Sidoarjo begitu gelap. Mendung menyelimutinya. Memandangnya
saja membuatku merinding. Seolah-olah sebuah lubang kegelapan yang akan melahap
kami. Ketika memasuki daerah Waru, hujan deras pun mengguyur kami. Alhasil,
kami mengakhiri petualangan hari ini dengan bermandikan hujan. Bermandikan
rahmat dari langit.
Kami berhasil menuntaskan
petualangan hari ini. Menaklukkan semua rintangan. Puas. Semua penat
terbayarkan dengan rasa puas yang tak terlukiskan. Tubuh boleh pegal, asal
jangan tekad yang pegal. Dengan memegang teguh tekad dan keyakinan kita akan
sebuah impian, kita tak akan pernah berhenti berusaha untuk meraih dan
mewujudkannya, walau seribu hambatan dan rintangan menghadang.