Minggu, 05 Januari 2014

Catatan Perjalanan : Ke ITS Tersesat? Tak Apalah!


Manusia memang tak ada yang sempurna. Tak ada yang luput dari dosa dan kesalahan. Mungkin yang kita tahu bahwa seseorang berusaha untuk tidak mencetak ulang kesalahannya kembali. Berusaha menjadi lebih baik. Namun, hal itu tak berlaku pada segelintir orang berikut ini. Tak sekali dua kali mereka berdusta. Tak jarang juga mengingkari janji dan perkataan yang telah ia ucap. Awalnya bilang ‘iya’ tapi akhirnya malah berbalik. Ya ... inilah realitanya. Inilah faktanya. Tapi, ini bukan cerita tentang mereka yang bangga akan kesalahannya. Ini cerita tentang 5 remaja SMA yang mengarungi kota metropolitan di Jawa Timur untuk mengunjungi perguruan tinggi negeri yang berdiri megah di sana.
Sabtu, 4 Januari 2013, tak lain dan tak bukan adalah hari terakhir liburan. Berbekal tekad dan keberanian, aku dan keempat temanku, Johanna, Nita, Tia, dan Alfin, berangkat menuju sebuah kota metropolitan di Jawa Timur. Yups .. kota itu adalah Surabaya. Hanya dengan sebuah pesan yang menunjukkan jalan menuju ke Institut Teknologi Sepuluh November, sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Timur, bahkan Indonesia, kami melangkahkan kaki. Pada mulanya, ada tujuh orang yang berniat untuk melakukan perjalanan ini. Aku, Johanna, Ririn, Falah, Alfin, Huda, dan Johan. Tapi, semuanya berubah begitu saja.
...
Jum’at malam, aku dan Johanna menghubungi teman-teman sekelasku untuk hang-out bersama untuk mengunjungi perguruan tinggi di Surabaya. Mungkin tak sedikit yang tak bisa ikut serta dalam rencana itu. Tak apalah, mungkin memang terlalu mepet aku dan Johanna memberi kabar ini. Malam itu ada tujuh anak yang menyatakan kesanggupannya. Aku, Johanna, Ririn, Falah, Alfin, Huda, dan Johan. Kucoba tuk bertanya pada Huda. “Huda, besok aku boleh bonceng kamu ga?”
“Aku sama Falah, Ka.” jawabnya.
Sempat aku ragu. Gamang. Antara ikut atau tidak.
...
Pagi itu, aku pun masih belum yakin untuk ikut. Keyakinan untuk ikut belum genap seutuhnya. Sempat aku berunding sama Ririn. Dia yang awalnya akan bonceng Alfin, rela memutuskan naik angkot sama aku. “Ke alun-alun Sidoarjonya naik angkot sama aku aja. Nanti waktu ke Surabaya kamu bonceng Johan saja. Insya Allah dia sendirian.” katanya. Secercah harapan pun hadir. Di satu sisi, rasa lega itu muncul, tapi terbersit kekhawatiran di kala ku coba bertanya pada Johan. “Jo, nanti aku boleh bonceng ga?”
“Aku jemput ke rumahmu?” tanyanya.
“Ndaklah. Tungguen di perempatan lampu merah depannya Mall yang mau ke arah alun-alun saja.”
“Kamu sama Huda aja. Aku nanti sama Falah.”
Kecewa. Seolah dipermainkan. Kata Huda, Falah sama dia. Kata Johan, Falah sama dirinya. Saat itu juga, aku bertanya pada Huda perihal itu. Tapi ternyata dia tidak jadi ikut. Entah kenapa dia berubah pikiran. Aku pun tak tahu. Aku minta kepastian pada Johan. Tapi tak ada satupun jawaban darinya. Meninggalkan seribu tanda tanya. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk tidak ikut. Alasannya sederhana, karena tak ada membonceng. Maklum, belum berani bersepeda sendiri ke Surabaya. Kukabari Ririn dan Johanna. Ini keputusanku. Ini pilihanku. ‘Tak apalah. Toh, aku kan sudah pernah mengunjungi perguruan tinggi negeri di Surabaya,’ batinku. Tapi sebuah keajaiban datang menghampiriku. Sekitar pukul 08.20, ponselku berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Nita.
“Kamu di mana?” tanyanya.
“Aku di rumah. Ada apa?”
“Kamu ga ke Surabaya?”
“Engga. Karena ga ada yang bonceng.”
“Sama Johanna. Dia sendirian.”
“Loh, dia tadi loh ga bilang apa-apa. Bukannya dia sama Ririn ya?”
“Ririn ga jadi ikut. Dia lupa kalau hari ini ada janji sama temannya. Gimana? Jadi ikut ga?”
“Ke Sidoarjo sekarang?”
“Iya.”
“Yaudah aku ikut. Tunggu ya.”
“Oke.”
Seketika aku meluncur pulang dari rumah nenekku untuk berbenah. Waktu itu omku akan berangkat kerja ke Plaza Telkom. ‘Kalau aku naik angkot pasti lama. Belum lagi kalo macet. Kasihan teman-teman harus nunggu lebih lama lagi. Kalau berangkat sama om pasti lebih cepat. Yaudahlah, berangkat sama om saja.’ pikirku. Tiga puluh menit kemudian aku sudah bersama mereka, Johanna, Nita, Tia dan Alfin. Menggenapkan tekad untuk bertualang bersama mereka.
...

Semula kukira perjalanan ini menuju Universitas Negeri Surabaya di Ketintang, Surabaya, dahulu. Ternyata ke ITS dulu. Walaupun aku yang pernah ke ITS sebelumnya, tapi aku lupa jalan menuju kampus ITS. Sifat pelupa itu muncul menghancurkan memori yang ada. Aku yang saat itu dibonceng Nita mengikuti saja ke mana Johanna dan Tia melaju. Maklum derita orang tak tahu jalan ya jadi pengikut. Johanna mengajak lewat jalan dalam. Kami melewati jalan menuju bandara Juanda. Tanpa kekhawatiran sedikit pun kami melaju mengarungi jalanan yang terasa terik mengikuti petunjuk arah yang kami punya. Sampai akhirnya kami masuk ke sebuah desa yang kami pun tak mengenalnya. Bingung. Resah. Kami tersesat. Tak mau tersesat lebih jauh lagi, kami pun akhirnya kembali ke jalan raya semula. Berusaha menemukan jalan menuju Royal Plaza. Karena dari situ mungkin akan jauh lebih mudah bagi kami untuk menuju kampus ITS.
Aku mencoba untuk meminta tolong Mbak Fitri, kakak kelasku di SMAN 1 Wonoayu, untuk menjelaskan mana arah yang harus kami tempuh untuk sampai di kampus ITS.
“Assalamualaikum. Mbak, tolong jelaskan arah menuju kampus ITS kalau ditempuh dari Royal Plaza?”
“Lewat ke arah DTC, Dek. DTC lurus, perempatan lampu merah kedua belok kanan. Lurus terus. Belok kiri, lurus. Ada pertigaan belok kanan, nanti ada kampus STESIA di kanan jalan. Lurus terus nanti ada jalan besar belok kiri. Lurus saja sampai perempatan, di situ ada penunjuk jalan ITS, UNAIR, dan lain-lain, belok kanan. Terus lurus saja, nanti ada bunderan ITS. Itu sudah sampai ITS.” Jawab Mbak Fitri.
Waktu itu juga, aku dan Nita kehilangan jejak teman-teman kami. Kami kebablasan hingga sampai di daerah Waru. Merasa kehilangan, Tia mengabariku kalau mereka menunggu kami di tepi jalan di dekat Royal Plaza. Aku dan Nita memutar arah menuju Royal Plaza. Alhamdulillah, kami pun menemukan mereka.
Petualangan pun terus berlanjut tak sampai di situ saja. Ternyata tidak mudah mengikuti petunjuk dari Mbak Fitri. Tek terlebih karena belokan di Surabaya itu tak sedikit. Aku dan Nita hanya mengikuti Johanna dan Tia yang memimpin petualangan ini. Kami tertinggal jauh. Alhasil, kami kehilangan jejak teman-teman kami untuk kedua kalinya.
“Johanna, Tia, dan Alfin di mana? Kok mereka ga kelihatan?” tanya Nita.
“Loh, iya kah? Cepat banget mereka! Nit, kalau kita jalan terus mengikuti jalan ini, kita bakal kembali pulang ke Sidoarjo. Putar balik saja.”
“Yaudah kalau begitu. Oh ya, pesan dari Mbak Fitri tadi masih ada kan?”
“Ada.”
“Ehm .. bilang saja ke Tia kita ketemu di ITS saja.”
Aku dan Nita memutar arah untuk kedua kalinya. Kali ini hanya kami berdua. Ya, hanya berdua. Bermodalkan tekad dan keyakian yang masih membara, kami bertekad untuk menyelesaikan petualangan ini walaupun tak tahu arah dan berkali-kali tersesat. Kami yakin apapun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak akan menjadi sesuatu yang buruk. Tapi tergantung bagaimana kita bersikap, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Berserah pada keadaan atau terus berusaha meweujudkan apa yang menjadi tujuan kita. Kita jangan mau sampai diatur oleh keadaan, kalau bisa kita yang mengatur.
Dengan mengikuti petunjuk dari Mbak Fitri dan papan penunjuk arah, aku dan Nita melanjutkan perjalanan menuju kampus ITS walaupun sesekali bertanya pada seseorang di tepi jalan ketika kami bingung dan takut salah arah. Dengan mengucap Basmalah, kami mengarungi jalanan Surabaya dengan bermandikan terik panas matahari.
“Nita .. Nita, lihat itu.” ucapku
“Apa?”
“Itu ... Kita sudah sampai di ITS. Lihat itu.”
“Oh iya. Hampir saja kebablasan.”
“Yaudah masuk yuks.”
Kami pun masuk. Pelan-pelan sepeda yang kami naiki melaju. Bukan karena kehabisan bahan bakar, tapi merasa malu dengan mahasiswa yang berseliweran di area itu.
“Nit, kita orang asing di sini.” kataku
“Iya. Malu. Mau ditaruh di mana ini muka.”
Kami sempat berhenti di depan masjid ITS. Bingung mencari tempat parkir masjidnya di mana. Ada yang berubah dari kampus ini. Di depan masjid ITS, kini tiada lagi pedagang bakso yang di tahun sebelumnya masih ada. Padahal dari tadi kami telah mengincarnya. Maklumlah, cacing-cacing di perut ini telah menabuh gong meminta suapan makanan.
Di kala itu, ternyata Johanna, Tia, dan Alfin telah memarkir sepeda mereka. Tak menunggu lami aku dan Nita memarkir kendaraan roda dua yang sedari tadi senantiasa menemani kami mengarungi jalan.
Air wudlu ini serasa meluruhkan seluruh peluh yang ada. Segar. Segera kami menunaikan shalat Dhuhur. Seusai shalat, kami pun kembali. Tak lupa kami pun mengabadikan momen kebersamaan ini dalam frame.

  
Cacing-cacing di perut kami tak bisa dikompromi. Ingin membeli makan, tapi kantin ITS hari ini tutup. Kata temannya Johanna, kantin di PENS masih buka. Jadi kami memutuskan untuk mencari di mana kampus PENS berada. Mutar-muter. Tapi hasilnya nihil, tak menemukannya. Langit mendung kala itu. Tapi matahari masih leluasa memancarkan sinarnya. Kami pun bertanya kepada pak satpam yang berjaga di rumah dinas ITS. Perjalanan pun berlanjut.


Kami keluar dari ITS menuju PENS. Ketemu. Kami berhasil menemukannya. Tapi, sayang seribu sayang, kantinnya sudah tutup. Alhasil, kami kecewa. Tapi Allah masih sayang sama kami. Security PENS meberitahu kami sebuah tempat makan di desa Mulyorejo, depan kampus PENS. Ketika hendak memesan makanan, tanpa sengaja, Johanna bertemu dengan orang yang pernah mendapat tempat spesial di hatinya. Terkejut. Gemetar tubuhnya. Belum makan pun terasa kenyang. Aneh. Cinta memang aneh. Ya sudahlah! Soto ayam menjadi menu makan siang kami kali ini, ditemani dengan segelas es teh manis. Dalam hitungan menit, semua makanan itu tandas tak bersisa. Habis.



Gerimis menguyur Surabaya ketika kami pulang. Tapi tak berlangsung lama. Ketika kami melaju di daerah Rungkut, sepeda yang aku dan Nita tumpangi sempat oleng saat berusaha menghindari sebuah lubang. Kaget. Tapi Alhamdulillah, kami tak terjatuh. Perjalanan ini terus berlanjut. Tak selang kemudian, macet pun tak terelakkan. Terbebas dari genggaman kemacetan, kami melanjutkan perjalanan pulang. Dari kejauhan terlihat langit Sidoarjo begitu gelap. Mendung menyelimutinya. Memandangnya saja membuatku merinding. Seolah-olah sebuah lubang kegelapan yang akan melahap kami. Ketika memasuki daerah Waru, hujan deras pun mengguyur kami. Alhasil, kami mengakhiri petualangan hari ini dengan bermandikan hujan. Bermandikan rahmat dari langit.

Kami berhasil menuntaskan petualangan hari ini. Menaklukkan semua rintangan. Puas. Semua penat terbayarkan dengan rasa puas yang tak terlukiskan. Tubuh boleh pegal, asal jangan tekad yang pegal. Dengan memegang teguh tekad dan keyakinan kita akan sebuah impian, kita tak akan pernah berhenti berusaha untuk meraih dan mewujudkannya, walau seribu hambatan dan rintangan menghadang.